Jumat, 13 Januari 2012

KONSEP POLITIK


A. TEORI POLITIK

Teori adalah generalisasi yang abstrak mengenai beberapa fenomena; dengan selalu memakai konsep konsep. Konsep lahir dalam pikiran (mind) manusia dan karena itu bersifat abstrak, sekalipun fakta-fakta dapat dipakai sebagai batu loncatan. Konsep itu sendiri merupakan konstruksi mental, suatu ide yang abstrak yang menunjuk pada beberapa fenomena atau karakteristik dengan sifat yang spesifik. Sedangkan generalisasi merupakan proses melalui mana suatu observasi mengenai lebih dari satu fenomena. 
Dalam teori politik yang dibahas adalah 
(1)  Tujuan dari kegiatan politik, 
(2)  Cara-cara mencapai tujuan itu, 
(3) kemungkinan-kemungkinan dan kebutuhan-kebutuhan yang ditimbulkan oleh situasi politik tertentu
(4) kewajiban-kewajiban (obligations) yang diakibatkan oleh tujuan politik tertentu. 

The Study of Political Theory membedakan dua macam teori politik sekalipun perbedaan antara keduanya tidak bersifat mutlak, yaitu teori-teori yang mempunyai dasar moral (akhlak) dan yang membentuk norma-norma untuk perilaku politik; serta teori-teori yang mengambarkan dan membahas tentang fenomena dan fakta politik dengan tidak mempersoalkan nilai atau norma. Teori-teori yang termasuk ke dalam kelompok ini dapat dibagi lagi dalam tiga kelompok, yaitu filsafat, teori sistematis, dan ideology.
B. MASYARAKAT

Robert M McIver mengatakan: “Masyarakat adalah suatu sistem hubungan-hubungan yang ditata (society means a system of ordered relations)”. {Robert M McIver; The Web of Government (New York: The Macmillan Company, 1951: hal 22)} Beberapa ahli dalam kehidupan berkelompok dan dalam hubungannya dengan manusia yang lain pada dasarnya setiap manusia menginginkan beberapa nilai. Harold Laswell merinci delapan nilai dari pangamatan masyarakat Barat, yaitu kekuasaan (power), kekayaan (wealth), penghormatan (respect), kesehatan (well-being), kejujuran (rectitude), keterampilan (skill), pendidikan/penerangan (enlightenment), dan kasih sayang (affection). Dengan adanya berbagai nilai dan kebutuhan yang harus dilayani itu, maka manusia menjadi anggota dari beberapa kelompok sekaligus.


C. NEGARA


Roger H Soltau: “Negara adalah agen (agency) atau kewewenangan (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoaln-persoalan bersama atas nama masyarakat.” {An Introduction to Politics, hal. 1} Pada umunya dianggap bahwa setiap negara mempunyai sifat memaksa, sifat monopoli, dan sikap mencakup semua (all-encomparising, all-embracing). Negara terdiri dari unsur-unsur, yaitu wilayah, penduduk, pemerintah, dan kedaulatan. Negara dapat dipandang sebagai asosiasi mansia yang hidup dan bekarja sama untuk mengejar beberapa tujuan terakhir ialah menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya (bonum publicum, common good, common wealth). Menurut Harold J Laski:”Menciptakan keadaan di mana rakyat dapat mencapai keinginan-keinginan mereka secara maksimal”. Negara pun memiliki fungsi yang menurut Charles E Merriam dengan lima fungsi negara, yaitu keamanan ekstrem, ketertiban intern, keadilan, kesejahteraan umum, dan kebebasan. Konsep sistem politik merupakan pokok dari gerakan pembaharuan yan timbul dalam dekade lima puluhan yang mencari suatu new science of politics. Terdapat empat variabel dalam sistem politik, yaitu kekuasaan, kepentingan, kebijaksanaan, dan budaya politik.


D. KONSEP POLITIK


Konsep politik dianggap identik dengan kekuasaan. Menurut sosiolog Max Weber dalam bukunya Wirstschaft und Gesselschaft (1992) kekuasaan adalah kemampuan untuk dalam suatu hubungan sosial melaksanakan kemampuan sendiri sekalipun mengalami perlawanan dan apa pun dasar kemampuan ini”. Intinya esensi dari kekuasaan adlah hak mengadakan sanksi dengan cara yang paling ampuh adalah dengan kekerasan fisik (force), namun ada pula upaya yang lebih lunak melalui persuasi dengan meyakinkan, beragumentasi atau menunjuk pada pendapat ahli agar tidak menonjolkan kekuasaannya. Sumber kekuasaan ialah kekayaan, kepercayaan atau agama. Dalam hubungan kekuasaan, selalu ada pihak yang lebih kuat dari pihak yang lain, sering disebut dengan hubungan asimetris. Di dekade 20-an, generasi pemikir sering menyebutnya dominasi, hegemoni, atau penundukan. Sosiolog terkenal Talcott Parsons merumuskan kekuasaan sebagai “Power then is generalized capacity to score the performance of binding obligations by units in a system of collective organization when the obligations are legitimate with reference to their bearing on collective goals, and where in case of recalcitrancy there is a presumption of enforcement by negative situational sanctions, whatever the agency of the enforcement” {The Distribution of Power in American Society. “World Politics; 1957:139). Initnya, Parsons melihat segi positif dari kekuasaannya jika dihubungkan dengan authority dan possibility. Adapun istilah wewenang menurut Robert Bierstedt dalam karanganya An Analysis of Social Power; bahwa wewenang (authority) adalah institutionalized power” {Robert Biersted, “An Analysis of Social Power”, American Sociological Review, volume 15, December 1950:hal 732). Adapula konsep legitimasi yang oleh SM Lipset diucapkan sebagai: “Legitimasi mencakup kemampuan untuk membentuk dan mempertahankan bahwa lembaga-lembaga atau bentuk-bentuk politik yang ada adalah yang paling wajar untuk masyarakat itu” {Seymour Martin Lipset, Politics Man: The Social Bases of Politics; Bombay: Vakils, Feffer, and Simons Private, Ltd., 1969:hal 29). Sebuah konsep selalu dibahas bersamaan dengan pengaruh karena kekuasaan dapat mengadakan sanksi dan pengaruh. Pengaruh didefinisikan sebagai: “Influence is a type of power in that a person who is influenced to act in a certain way may be said to be caused so to act, eventhough an overt threat of sanctions will not be the motivatingforce” {Norman Berry, “An Introduction to Modern Theory”: hal 99}. Seorang ilmuwan politik terkenal Robert Dahl mengulas kekuasaan yang pertama The Concept of Power (1957), malihat kekuasaan sebagai konsep pokok dan mengatakan: “A has power over B to the extent that can get B to do something that B would not otherwise do” {Robert A Dahl, “The Concept of Power,” Behavioral Science, volume 2, 1957}


BERBAGAI PENDEKATAN DALAM ILMU POLITIK


Ilmu politik mengalami perkembangan yang pesat dengan munculnya berbagai pendekatan (approaches). Pendekatan legal (yuridis) dan institusional telah disusul dengan pendekatan perilaku, pasca-perilaku, dan pendekatan Neo-Marxis. Selanjutnya, muncul dan berkembang pendekatan-pendekatan lainnya seperti pilihan rasional (rational choice), teori ketergantungan (dependency theory), dan institusionalisme baru (new institutionalism). Berkat interaksi dengan ilmu-ilmu lainnya, seperti sosiologi, antropologi, hokum, dan ekonomi, maka ilmu politik telah berkembang menjadi ilmu yang lebih komprehensif karena melibatkan banyak aspek yang tadinya tidak dihiraukan. Ilmu politik saat ini lebih dinamis dan lebih mendekati realitas. Vernon van Dyke mengatakan bahwa: “Suatu pendekatan (approach) adalah criteria untuk menyeleksi masalah dan data yang relevan”. {Vernon van Dyke, Political Science: A Philosophical Analysis (Stanford: Stanford University Press: hlm. 114)}


A. PENDEKATAN LEGAL/INSTITUSIONAL


Sering dinamakan pendekatan tradisional, berkembang abad ke 19 dengan focus pokoknya terutama segi konstitusional dan yuridis. Pendekatan ini lebih bersifat normatif dengan mengasumsikan norma-norma demokrasi Barat, dengan Negara ditafsirkan sebagai suatu badan dari norma-norma konstitusional yang formal dengan contoh karyanya R Kranenburg berjudul Algeemene Stastsleer. Namun penelitian mengenai kekuasaan dalam praktiknya sangat sukar untuk dilaksanakan dan kurang berkembang pada masa itu. Sekalipun demikian, pandangan untuk memusatkan perhatian pada kekuasaan dari kedudukan sebagai satu-satunya factor penentu, sehingga menjadi hanya salah satu dari sekian banyak factor (sekalipun dinilai penting) Dalam proses membuat dan melaksanakan keputusan. Pendobrakan terrhadap pendekatan tradisional terjadi dengan tumbuhnya Pendekatan Perilaku (Behavioral Approaches).


B. PENDEKATAN PERILAKU


Pendekatan ini timbul dari mulai berkembang di Amerika tahun 1950 seusai Pernag Dunia II; dengan sebab kemunculan, yaitu sifat deskriptif dari ilmu politik dianggap tidak memuaskan; kekhawatiran ilmu politik tidak akan maju; dan muncul keraguan mengenai kemampuan para sarjana ilmu politik menerangkan fenomena politik. {Albert Sumit dan Joseph Tanenhaus, The Development of Political Science: From Burgess to Behavioralism, ed.ke-2; (New York: Irvington Publisher, 1982: hlm. 184)}


Pendekatan ini tidak menganggap lembaga-lembaga formal sebagai titik sentral (actor independent) tetapi hanya kerangka bagi kehidupan manusia. Pendekatan ini menampilkan suatu cirri khas yang revolusioner, sebagaimana diuraikan David Easton (1962) dan Albert Sumit (1967), yaitu perilaku politik menampilkan ketentuan sebagai generalisasi harus ada usaha membedakan norma dengan fakta, analisis politik tidak boleh dipengaruhi oleh nilai-nilai pribadi si peneliti, penelitian harus sistematis dan menuju pembentukan teori dan ilmu politik harus bersifat murni, serta ilmu politik harus tetap terbuka bagi dan terintegrasi dengan ilmu-ilmu lainnya. Pendekatan ini dipelopori oleh Gabriel Abraham Alham dan David Easton, Karl Deutsch, Robert Dahl, serta David Apter. System politik menyelenggarakan dua fungsi, yaitu fungsi masukan dan keluaran yang terpengaruh oleh sifat dan kecenderungan para aktor politik.


Perbedaan antara para tradisionalis dengan para behavioralis dapat disimpulkan , yaitu para tradisionalis menekankan nilai-nilai dan norma-norma maka para behavioralis menekankan fakta. Jika para tradisionalis menekanakan fungsi filsafat maka para behavioralis menekankan penelitian empiris. Jika para tradisionalis memperjuangkan ilmu yang bersifat terapan maka para behavioralis memperjuangkan ilmu bersifat murni. Jika para tradisionalis menonjolkan aspek historis-yuridis maka para behavioralis mengutamakan aspek sosiologis-psikologis. Jika para tradisionalis memilih metode kualitatif maka para behavioralis lebih mementingkan metode kuantitatif. Pada tahun 1969 David Easton, pelopor 

Pendekatan Perilaku yang kemudian mendukung Pendekatan Pasca-Perilaku merumuskan pokok pikirannya dlam suatu Credo Of Relevance, yaitu: 
1) Dalam usaha mengadakan penelitian empiris dan kuantitatif, ilmu politik menjadi terlalu abstrak dant tidak relevan dengan masalah sosial yang dihadapi; 
2)  Pendekatan Perilaku secara terselubung bersifat konservatif; 
3) Dalam meneliti niali-nilai tidak boleh dihilangkan; ilmu yidak boleh bebas nilai (value free) dalam evaluasinya
4) Mereka harus merasa commited untuk aktif mengubah masyarakat menjadi lebih baik,
sarjana harus berorientasi pada tindakan (action-centered). {David Easton, “The New Revolution on Political Science” dalam American Political Science Review, Desember 1969. Tulisan ini dimuat kembali dalam David Easton, The Political System: An Inquiry into the State of Political Science, ed.k2-2 (New York: Alfred A Knopf, 1971: hlm. 323-348) Proses perubahan pemikiran diuraikan dalam bab terakhir berjudul “Continuities In Political Analysis: Behavioralism and Post-Behavioralism”,hlm. 349-377}

C. PENDEKATAN NEO-MARXIS


Kebanyakan kalangan Neo-Marxis adalah cendekiawan yang berasal dari kalangan “borjuis” dan seperti cendekiawan yang dipihak satu, menolak komunisme Uni Soviet yang bersifat represif, tapi di pihak lain tidak menyetujui banyak aspek masyarakat kapitalis. Mereka beranggapan pemikiran Marx sangat menarik karena ramalan Marx tentang runtuhnya kapitalisme yang tak terelakkan dan etika humanis yang meyakini bahwa manusia pada hakikatnya baik, dan dalam keadaan tertentu yang menguntungkan akan dapat membebaskan diri dari lembaga-lembaga yang menindas, menghina, dan menyesatkan. {Alfred G Meyer, “Marxism” dalam International Encyclopedia of Social Sciences (New York: MacMillan Co., 1968: volume-X hlm. 45)} Fokus analisa Neo-Marxis adalah kekuasaan serta konflik yang terjadi dalam negara. Bagi kalangan ini, konflik antarkelas merupakan proses dialektis paling penting dalam mendorong perkembangan masyarakat dan semua gejala politik harus dilihat dalam rangka konflik antarkelas ini. Kalangan ini merumuskan fleksibilitas dan keluasan dengan mencanangkan adanya dua himpunan massa (aggregates) yang sedikit banyak kohesif serts memiliki banyakl fasilitas (the advantages) dan mereka yang tidak memiliki fasilitas (the disanvantages). Sarjana ilmu politik arus utama (mainstreams) mengkritik bahwa Neo-Marxis lebih cenderung mengecam pemikiran sarjana “borjuis” daripada membentuk atau membangun teori sendiri, kritik lainnya bahwa Neo-Marxis kontemporer merupakan ciptaan dari teoritisi sosial yang berasal dari kampus. Namun, mulai tahun 1970-an pemikiran kelompok Neo-Marxis juga dicantumkan dalam kurikulum jurusan-jurusan ilmu poliyik di Amerika Serikat dan Eropa Barat. Pada awal dasawarsa 1990-an situasi politik telah banyak berubah. Komunisme di negara-negara Eropa Timur terbukti gagal untuk menjelmakan surga dunia yang lebih lama dijanjikannya. Tahun 1970 yang oleh Khruschchev dengan penuh optmisme dicangangkan sebagai saat Uni Soviet akakn melampaui Amerika Serikat di bidang perekonomiannya dan terpecahnya negara itu menjadi beberapa negara tahun 1989. Akhirnya, kejatuhan pamor komunisme dengan sendirinya mempunyai dampak negatif pada pemikiran Marx, baik yang bersifat klasik maupun yang bersifat Neo-Marxis. Semua argumentasi yang tadinya dianggap sebagai suatu alternatif yang cukup tangguh, mulai disangsikan validitasnya.


D. TEORI KETERGANTUNGAN


Kalangan ini berhaluan toeri kiri yang mengkhususkan penelitiannya pada hubungan antara negara Dunia Pertama dengan Dunia Ketiga; inipun menarik perhatian di tahun 1970-an dan 1980-an dengan PauL Bacan disusul dengan Andre Gunder Frank sebagai perintisnya. Bertolak dari teori Lenin mengenai imperialisme, kelompok ini berpendapat bahwa imperialisme masih hidup, tetapi dalam bentuk lain. Pertama, negara bekas jajahan dapat menyediakan sumber daya manusia dan sumber daya alam. Kedua, negara kurang maju dijadikan pasar produksi. Mereka berpendapat bahwa gejala ketergantungan ini sudah menjadi gejala dunia; mereka melihat adanya suatu mata rantai hubungan metropolitan-satelit (chain of metropolitan-satellite) dalam struktur sistem dunia yang melampaui batas-batas negara. {David Harison, Sociology Of Modernization and Development (London: Unwin Hymen Ltd., 1988: hlm. 82)}


E. PENDEKATAN PILIHAN RASIONAL


Munculnya akibat pertentangan pendekatan-pendekatan sebelumnya dengan pendapat bahwa mereka telah meningkatkan olmu politik menjadi suatu ilmu yang benar-benar science, Manusia Politik (Homo Politicus) berubah menjadi Manusia Ekonomi (Homo Economicus) dalam hal penentuan kebijakan publik. Kalangan ini membuat simplikasi yang radikal dan memakai model matematika untuk menjelaskan dan menafsirkan gejala-gejala politik. Pelaku Rational Choice ini, terutama politisi, birokrat, pemilih dalam pemilu, dan aktor ekonomi, pada dasarnya egois dan segala tindakannya berdasarkan kecenderungan ini, yaitu mencari cara yang peling efisien untuk mencapai tujauannya. Namun, golongan ini tidak luput oleh kritikan, seperti oleh para penganut structural-fungtionalism karena dianggap tidak memerhatikan kenyataan bahwa manusia dalam perilaku poltitiknya sering tidak mempunyai skala preferensi yang tegas dan stabil., dan bahwa ada pertimbangan lain yang turut meenentukan sikapnya, seperti faktor budaya, agama, sejarah, dan moralitas, tindakan manusia terinspirasi oleh apa yang baik dan apa yang mungkin; kritik lainnya seperti memaksimalkan kepentingan sendiri cenderung secara tidak langsung mengabaikan unsur etika , lagipula skala preferensi manusia dapat saja berubah sepanjang masa. {David Lalman, et al., “Formal Rational Choice Theory” dalam Ada W Finifter, ed., Political Science: The State Of The Discipline II (Washington: The American Political Science Association, 1993: hlm. 77)}


Di sisi lain pendekatan ini sangat berjasa dalam mendorong usaha kuantitattif dalam ilmu politik dan mengembangkan sifat empiris yang dibuktikan kebenarannya, ketimbang studi abstrak dan spekulatif. John Rawls, dalam A Theory of Justice (1971) mengargumentasikan bahwa nilai-nilai seperti keadilan, persamaan hak, dan moralitas merupakan sifat manusia yang perlu diperhitungkan dan dikembangkan, iapun memperjuangkan suatu keadilan yang dapat dinikmati oleh semua warga, termasuk mereka yang rentan dan miskin; dinamakannya equtiy atau distinctive justice; iapun mendambakan suatu masyarakat yang mempunyai konsensus kuat mengenai asas-asas keadilan yang harus dilaksanakan oleh institusi-institusi politik.


F. PENDEKATAN INSTITUSIONALISME BARU


Pendekatan ini lahir dari paradigma teori-teori society-centered menjadi paradigma state-centered; lebih merupakan suatu visi yang meliputi beberapa pendekatan lain, bahkan beberapa bidang ilmu pengetahuan lain, seperti sosiologi dan ekonomi. Teori ini lebih melihat negara sebagai hal yang dapat diperbaiki ke arah suatu tujuan tertentu yang memerlukan sebuah rencana praktis. Kelompok ini menakankan konsensus bahwa inti dari institusi politik adalah rules of the game (aturan main). Jan-Erik Lane dan Svante Erson mendefinisikan institusi mencakup: 1) struktur fisik, 2) struktur demografis, 3) perkembangan historis, 4) jaringan pribadi, dan 5) struktur sementara (keputusan sementara). {Jan-Erik anda Svante Ersson, Comparative Politics: An Introduction and New Approaches (Cambridge: Polity Press, 1994: hlm. 116)} Institusi meemngaruhi dan menetukan cara para aktor berusaha mencapai tujuannya; menentukan: a) siapa aktor yang sah, b) jumlah aktor, c) siapa menentukan tindakan. {Jan-Erik and Svante Ersson, Comparative Politics: An Introduction and New Approaches, (Cambridge: Polity Press, 1994: hlm. 196)} Manusia dari manusia yang rasional (memakai akal) menjadi manusia yang reasonable (memikirkan apa yan layak) untuk kepentingan bersama. Inti dari teori pendekatan ini dirumuskan oleh Robert E Goodin, yaitu: 1) aktor dan kelompok melaksanakan proyek dalam suatu konteks terbatas secara kolektif, 2) pembatasan itu terdiri dari institusi-institusi, yaitu: a) pola norma dan pola peran yang telah berkembang dalam kehidupan sosial dan b) perilaku pemegang peran tersebut yang telah ditentukan secara sosial dan selalu berubah; 3) pembatasan ini dalam banyak hal memberikan keuntungan individu atau kelompok dalam mengejar proyek, 4) faktor-faktor pembatas itu memengaruhi pembentukan preferensdi dan motivasi dari aktor dan kelompok-kelompok, 5) pembatasan berakar historis, dan 6) pembatasan mewujudkan, memelihara, dan memberi peluang serta kekuatan yang berbeda kepada individu dan kelompok masing-masing. {Robert E Goodin, “Institutions and Their Design” dalam The Theory of Institutional Design (Cambridge: Cambridge University Press, 1996: hlm. 20)} Penganut teori ini memiliki poko masalah ‘bagaimana membentuk institusi yang dapat menghimpun secara efektif sebanyak mungkin preferensi dari para aktor untuk menentukan kepentingan klolektif’, teori ini memiliki proses yang disebut institutional engineering (rekayasa institusional) melalui suatu institutional design (rancangan institusional); merupakan suatu rencana aksi analisis yang sangat penting. {Robert E Goodin, “Institutions and Their Design” dalam The Theory of Institutional Design, Robert E Goodin, ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1996: hlm. 31)}



Bentuk Negara


A.   Negara Kesatuan (Unitaris)


Negara Kesatuan adalah negara bersusunan tunggal, yakni kekuasaan untuk mengatur seluruh daerahnya ada di tangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat memegang kedaulatan sepenuhnya, baik ke dalam maupun ke luar. Hubungan antara pemerintah pusat dengan rakyat dan daerahnya dapat dijalankan secara langsung. Dalam negara kesatuan hanya ada satu konstitusi, satu kepala negara, satu dewan menteri (kabinet), dan satu parlemen. Demikian pula dengan pemerintahan, yaitu pemerintah pusatlah yang memegang wewenang tertinggi dalam segala aspek pemerintahan. Ciri utama negara kesatuan adalah supremasi parlemen pusat dan tiadanya badan-badan lain yang berdaulat.

Negara kesatuan dapat dibedakan menjadi dua macam sistem, yaitu:

  1. Sentralisasi, dan
  2. Desentralisasi.

Dalam negara kesatuan bersistem sentralisasi, semua hal diatur dan diurus oleh pemerintah pusat, sedangkan daerah hanya menjalankan perintah-perintah dan peraturan-peraturan dari pemerintah pusat. Daerah tidak berwewenang membuat peraturan-peraturan sendiri dan atau mengurus rumah tangganya sendiri.

Keuntungan sistem sentralisasi:

  1. adanya keseragaman (uniformitas) peraturan di seluruh wilayah negara;
  2. adanya kesederhanaan hukum, karena hanya ada satu lembaga yang berwenang membuatnya;
  3. penghasilan daerah dapat digunakan untuk kepentingan seluruh wilayah negara.

Kerugian sistem sentralisasi:

  1. bertumpuknya pekerjaan pemerintah pusat, sehingga sering menghambat kelancaran jalannya pemerintahan;
  2. peraturan/ kebijakan dari pusat sering tidak sesuai dengan keadaan/ kebutuhan daerah;
  3. daerah-daerah lebih bersifat pasif, menunggu perintah dari pusat sehingga melemahkan sendi-sendi pemerintahan demokratis karena kurangnya inisiatif dari rakyat;
  4. rakyat di daerah kurang mendapatkan kesempatan untuk memikirkan dan bertanggung jawab tentang daerahnya;
  5. keputusan-keputusan pemerintah pusat sering terlambat.

Dalam negara kesatuan bersistem desentralisasi, daerah diberi kekuasaan untuk mengatur rumah tangganya sendiri (otonomi, swatantra). Untuk menampung aspirasi rakyat di daerah, terdapat parlemen daerah. Meskipun demikian, pemerintah pusat tetap memegang kekuasaan tertinggi.

Keuntungan sistem desentralisasi:

  1. pembangunan daerah akan berkembang sesuai dengan ciri khas daerah itu sendiri;
  2. peraturan dan kebijakan di daerah sesuai dengan kebutuhan dan kondisi daerah itu sendiri;
  3. tidak bertumpuknya pekerjaan pemerintah pusat, sehingga pemerintahan dapat berjalan lancar;
  4. partisipasi dan tanggung jawab masyarakat terhadap daerahnya akan meningkat;
  5. penghematan biaya, karena sebagian ditanggung sendiri oleh daerah.

Sedangkan kerugian sistem desentralisasi adalah ketidakseragaman peraturan dan kebijakan serta kemajuan pembangunan.


B.   Negara Serikat (Federasi)


Negara Serikat adalah negara bersusunan jamak, terdiri atas beberapa negara bagian yang masing-masing tidak berdaulat. Kendati negara-negara bagian boleh memiliki konstitusi sendiri, kepala negara sendiri, parlemen sendiri, dan kabinet sendiri, yang berdaulat dalam negara serikat adalah gabungan negara-negara bagian yang disebut negara federal.

Setiap negara bagian bebas melakukan tindakan ke dalam, asal tak bertentangan dengan konstitusi federal. Tindakan ke luar (hubungan dengan negara lain) hanya dapat dilakukan oleh pemerintah federal.

Ciri-ciri negara serikat/ federal:

  1. tiap negara bagian memiliki kepala negara, parlemen, dewan menteri (kabinet) demi kepentingan negara bagian;
  2. tiap negara bagian boleh membuat konstitusi sendiri, tetapi tidak boleh bertentangan dengan konstitusi negara serikat;
  3. hubungan antara pemerintah federal (pusat) dengan rakyat diatur melalui negara bagian, kecuali dalam hal tertentu yang kewenangannya telah diserahkan secara langsung kepada pemerintah federal.

Dalam praktik kenegaraan, jarang dijumpai sebutan jabatan kepala negara bagian (lazimnya disebut gubernur negara bagian). Pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dengan negara bagian ditentukan oleh negara bagian, sehingga kegiatan pemerintah federal adalah hal ikhwal kenegaraan selebihnya (residuary power).

Pada umumnya kekuasaan yang dilimpahkan negara-negara bagian kepada pemerintah federal meliputi:

  1. hal-hal yang menyangkut kedudukan negara sebagai subyek hukum internasional, misalnya: masalah daerah, kewarganegaraan dan perwakilan diplomatik;
  2. hal-hal yang mutlak mengenai keselamatan negara, pertahanan dan keamanan nasional, perang dan damai;
  3. hal-hal tentang konstitusi dan organisasi pemerintah federal serta azas-azas pokok hukum maupun organisasi peradilan selama dipandang perlu oleh pemerintah pusat, misalnya: mengenai masalah uji material konstitusi negara bagian;
  4. hal-hal tentang uang dan keuangan, beaya penyelenggaraan pemerintahan federal, misalnya: hal pajak, bea cukai, monopoli, matauang (moneter);
  5. hal-hal tentang kepentingan bersama antarnegara bagian, misalnya: masalah pos, telekomunikasi, statistik.

Menurut C.F. Strong, yang membedakan negara serikat yang satu dengan yang lain adalah:

  1. cara pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian;
  2. badan yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul antara pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian.

Berdasarkan kedua hal tersebut, lahirlah bermacam-macam negara serikat, antara lain:

  1. negara serikat yang konstitusinya merinci satu persatu kekuasaan pemerintah federal, dan kekuaasaan yang tidak terinci diserahkan kepada pemerintah negara bagian. Contoh negara serikat semacam itu antara lain: Amerika Serikat, Australia, RIS (1949);
  2. negara serikat yang konstitusinya merinci satu persatu kekuasaan pemerintah negara bagian, sedangkan sisanya diserahkan kepada pemerintah federal. Contoh: Kanada dan India;
  3. negara serikat yang memberikan  wewenang kepada mahkamah agung federal dalam menyelesaikan perselisihan di antara pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian. Contoh: Amerika Serikat dan Australia;
  4. negara serikat yang memberikan kewenangan kepada parlemen federal dalam menyelesaikan perselisihan antara pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian. Contoh: Swiss.

Persamaan antara negara serikat dan negara kesatuan bersistem desentralisasi: 1) Pemerintah pusat sebagai pemegang kedaulatan ke luar; 2) Sama-sama memiliki hak mengatur daerah sendiri (otonomi).

Sedangkan perbedaannya adalah: mengenai asal-asul hak mengurus rumah tangga sendiri itu. Pada negara bagian, hak otonomi itu merupakan hak aslinya, sedangkan pada daerah otonom, hak itu diperoleh dari pemerintah pusat.


Bentuk Kenegaraan


Selain negara serikat, ada pula yang disebut serikat negara (konfederasi). Tiap negara yang menjadi anggota perserikatan itu ada yang berdaulat penuh, ada pula yang tidak. Perserikatan pada umumnya timbul karena adanya perjanjian berdasarkan kesamaan politik, hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan atau kepentingan bersama lainnya.


A.  Perserikatan Negara


Perserikatan Negara pada hakikatnya bukanlah negara, melainkan suatu perserikatan yang beranggotakan negara-negara yang masing-masing berdaulat. Dalam menjalankan kerjasama di antara para anggotanya, dibentuklah alat perlengkapan atau badan yang di dalamnya duduk para wakil dari negara anggota.

Contoh Perserikatan Negara yang pernah ada:

  • Perserikatan Amerika Utara (1776-1787)
  • Negara Belanda (1579-1798), Jerman (1815-1866)

Perbedaan antara negara serikat dan perserikatan negara:

  • Dalam negara serikat, keputusan yang diambil oleh pemerintah negara serikat dapat langsung mengikat warga negara bagian; sedangkan dalam serikat negara keputusan yang diambil oleh serikat itu tidak dapat langsung mengikat warga negara dari negara anggota.
  • Dalam negara serikat, negara-negara bagian tidak boleh memisahkan diri dari negara serikat itu; sedangkan dalam serikat negara, negara-negara anggota boleh memisahkan diri dari gabungan itu.
  • Dalam negara serikat, negara bagian hanya berdaulat ke dalam; sedangkan dalam serikat negara, negara-negara anggota tetap berdaulat ke dalam maupun ke luar.

B.  Koloni atau Jajahan


Negara koloni atau jajahan adalah suatu daerah yang dijajah oleh bangsa lain. Koloni biasanya merupakan bagian dari wilayah negara penjajah. Hampir semua soal penting negara koloni diatur oleh pemerintah negara penjajah. Karena terjajah, daerah/ negara jajahan tidak berhak menentukan nasibnya sendiri. Dewasa ini tidak ada lagi koloni dalam arti sesungguhnya.


C.  Trustee (Perwalian)


Negara Perwalian adalah suatu negara yang sesudah Perang Dunia II diurus oleh beberapa negara di bawah Dewan Perwalian dari PBB. Konsep perwalian ditekankan kepada negara-negara pelaksana administrasi.

Menurut Piagam PBB, pembentukan sistem perwalian internasional dimaksudkan untuk mengawasi wilayah-wilayah perwalian yang ditempatkan di bawah PBB melalui perjanjian-perjanjian tersendiri dengan negara-negara yang melaksanakan perwalian tersebut.

Perwalian berlaku terhadap:

  1. wilayah-wilayah yang sebelumnya ditempatkan di bawah mandat oleh Liga Bangsa-Bangsa setelah Perang Dunia I;
  2. wilayah-wilayah yang dipisahkan dari negara-negara yang dikalahkan dalam Perang Dunia II;
  3. wilayah-wilayah yang ditempatkan secara sukarela di bawah negara-negara yang bertanggung jawab tentang urusan pemerintahannya.

Tujuan pokok sistem perwalian adalah untuk meningkatkan kemajuan wilayah perwalian menuju pemerintahan sendiri. Mikronesia merupakan negara trustee terakhir yang dilepas Dewan Perwalian PBB pada tahun 1994.


D.  Dominion


Bentuk kenegaraan ini hanya terdapat di dalam lingkungan Kerajaan Inggris. Negara dominion semula adalah negara jajahan Inggris yang setelah merdeka dan berdaulat tetap mengakui Raja/ Ratu Inggris sebagai lambang persatuan mereka. Negara-negara itu tergabung dalam suatu perserikatan bernama “The British Commonwealth of Nations” (Negara-negara Persemakmuran).

Tidak semua bekas jajahan Inggris tergabung dalam Commonwealth karena keanggotaannya bersifat sukarela. Ikatan Commonwealth didasarkan pada perkembangan sejarah dan azas kerja sama antaranggota dalam bidang ekonomi, perdagangan (dan pada negara-negara tertentu juga dalam bidang keuangan). India dan Kanada adalah negara bekas jajahan Inggris yang semula berstatus dominion, namun karena mengubah bentuk pemerintahannya menjadi republik/ kerajaan dengan kepala negara sendiri, maka negara-negara itu kehilangan bentuk dominionnya. Oleh karena itu persemakmuran itu kini dikenal dengan nama “Commonwealth of Nations”. Anggota-anggota persemakmuran itu antara lain: Inggris, Afrika Selatan, Kanada, Australia, Selandia Baru, India, Malaysia, etc. Di sebagian dari negara-negara itu Raja/ Ratu Inggris diwakili oleh seorang Gubernur Jenderal, sedangkan di ibukota Inggris, sejak tahun 1965 negara-negara itu diwakili oleh High Commissioner.


E.  Uni


Bentuk kenegaraan Uni adalah gabungan dari dua negara atau lebih yang merdeka dan berdaulat penuh, memiliki seorang kepala negara yang sama.

Pada umumnya Uni dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

1)   Uni Riil (Uni Nyata)

yaitu suatu uni yang terjadi apabila negara-negara anggotanya memiliki alat perlengkapan negara bersama yang telah ditentukan terlebih dulu. Perlengkapan negara itu dibentuk untuk mengurus kepentingan bersama. Uni sengaja dibentuk guna mewujudkan persatuan yang nyata di antara negara-negara anggotanya.

Contoh: Uni Austria – Hungaria (1867-1918), Uni Swedia – Norwegia (1815-1905), Indonesia – Belanda (1949).

2)   Uni Personil

yaitu suatu uni yang memiliki seorang kepala negara, sedangkan segala urusan dalam negeri maupun luar negeri diurus sendiri oleh negara-negara anggota.

Contoh: Uni Belanda – Luxemburg (1839-1890), Swedia – Norwegia (1814-1905), Inggris – Skotlandia (1603-1707;

Selain itu ada yang dikenal dengan nama Uni Ius Generalis, yaitu bentuk gabungan negara-negara yang tidak memiliki alat perlengkapan bersama. Tujuannya adalah untuk bekerja sama dalam bidang hubungan luar negeri. Contoh: Uni Indonesia – Belanda setelah KMB.

6.  Protektorat

Sesuai namanya, negara protektorat adalah suatu negara yang ada di bawah perlindungan negara lain yang lebih kuat. Negara protektorat tidak dianggap sebagai negara merdeka karena tidak memiliki hak penuh untuk menggunakan hukum nasionalnya. Contoh: Monaco sebagai protektorat Prancis.

Negara protektorat dibedakan menjadi dua (2) macam, yaitu:

  • Protektorat Kolonial, jika urusan hubungan luar negeri, pertahanan dan sebagian besar urusan dalam negeri yang penting diserahkan kepada negara pelindung. Negara protektorat semacam ini tidak menjadi subyek hukum internasional. Contoh: Brunei Darussalam sebelum merdeka adalah negara protektorat Inggris.
  • Protektorat Internasional, jika negara itu merupakan subyek  hukum internasional. Contoh: Mesir sebagai negara protektorat Turki (1917), Zanzibar sebagai negara protektorat Inggris (1890) dan Albania sebagai negara protektorat Italia (1936).

7.  Mandat

Negara Mandat adalah suatu negara yang semula merupakan jajahan dari negara yang kalah dalam Perang Dunia I dan diletakkan di bawah perlindungan suatu negara yang menang perang dengan pengawasan dari Dewan Mandat LBB. Ketentuan-ketentuan tentang pemerintahan perwalian ini ditetapkan dalam suatu perjanjian di Versailles. Contoh: Syria, Lebanon, Palestina (Daerah Mandat A); Togo dan Kamerun (Daerah Mandat B); Afrika Barat Daya (Daerah Mandat C).
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar