Masalah besar yang dihadapi negara sedang berkembang adalah disparitas (ketimpangan) distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan. Tidak meratanya distribusi pendapatan memicu terjadinya ketimpangan pendapatan yang merupakan awal dari munculnya masalah kemiskinan. Membiarkan kedua masalah tersebut berlarut-larut akan semakin memperparah keadaan, dan tidak jarang dapat menimbulkan konsekuensi negatif terhadap kondisi sosial dan politik.
Masalah kesenjangan pendapatan dan kemiskinan tidak hanya dihadapi oleh negara sedang berkembang, namun negara maju sekalipun tidak terlepas dari permasalahan ini. Perbedaannya terletak pada proporsi atau besar kecilnya tingkat kesenjangan dan angka kemiskinan yang terjadi, serta tingkat kesulitan mengatasinya yang dipengaruhi oleh luas wilayah dan jumlah penduduk suatu negara. Semakin besar angka kemiskinan, semakin tinggi pula tingkat kesulitan mengatasinya. Negara maju menunjukkan tingkat kesenjangan pendapatan dan angka kemiskinan yang relative kecil dibanding negara sedang berkembang, dan untuk mengatasinya tidak terlalu sulit mengingat GDP dan GNP mereka relative tinggi. Walaupun demikian, masalah ini bukan hanya menjadi masalah internal suatu negara, namun telah menjadi permasalahan bagi dunia internasional.
Berbagai upaya yang telah dan sedang dilakukan oleh dunia internasional, baik berupa bantuan maupun pinjaman pada dasarnya (walaupun masih tanda tanya) merupakan upaya sistematis untuk memperkecil kesenjangan pendapatan dan tingkat kemiskinan yang terjadi di negara-negara miskin dan sedang berkembang. Beberapa lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia serta lembaga-lembaga keuangan internasional lainnya berperan dalam hal ini. Kesalahan pengambilan kebijakan dalam pemanfaatan bantuan dan/ atau pinjaman tersebut, justru dapat berdampak buruk bagi struktur sosial dan perekonomian negara bersangkutan.
Perbedaan pendapatan timbul karena adanya perbedaan dalam kepemilikan sumber daya dan faktor produksi terutama kepemilikan barang modal (capital stock). Pihak (kelompok masyarakat) yang memiliki faktor produksi yang lebih banyak akan memperoleh pendapatan yang lebih banyak pula. Menurut teori neoklasik, perbedaan pendapatan dapat dikurangi melalui proses penyesuaian otomatis, yaitu melalui proses “penetasan” hasil pembangunan ke bawah (trickle down)
dan kemudian menyebar sehingga menimbulkan keseimbangan baru. Apabila proses otomatis tersebut masih belum mampu menurunkan tingkat perbedaan pendapatan yang sangat timpang, maka dapat dilakukan melalui sistem perpajakan dan subsidi. Penetapan pajak pendapatan/penghasilan akan mengurangi pendapatan penduduk yang pendapatannya tinggi. Sebaliknya subsidi akan membantu penduduk yang pendapatannya rendah, asalkan tidak salah sasaran dalam pengalokasiannya. Pajak yang telah dipungut apalagi menggunakan sistem tarif progresif (semakin tinggi pendapatan, semakin tinggi prosentase tarifnya), oleh pemerintah digunakan untuk membiayai roda pemerintahan, subsidi dan proyek pembangunan. Dari sinilah terjadi proses redistribusi pendapatan yang akan mengurangi terjadinya ketimpangan.
Selama 350 tahun rakyat Indonesia hidup dalam lingkungan kolonialisme penjajah, tidak pernah merasakan keadilan dalam segala bidang. Pada masa penjajahan, ekonomi Indonesia berorientasi untuk menyediakan bahan mentah bagi Belanda. Sektor pertanian selain menyediakan beras sebagai makanan pokok, bangsa Indonesia juga memproduksi rempah-rempah yang dapat dijual mahal di pasaran Eropa. Sektor industri tidak berkembang, dikarenakan Belanda tidak mau hasil industri Indonesia bersaing dengan industri yang ada di Belanda.
Sebagai bagian dari dunia internasional, berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam rangka meningkatkan derajat kehidupan bangsa agar setara dengan negara-negara lainnya di dunia. Kebijakan-kebijakan pembangunan yang diambil dan dilaksanakan “sejatinya” diarahkan pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berbagai upaya untuk mencapai tujuan tersebut telah banyak dilakukan, termasuk “menjalin hubungan” dengan lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia.
Berdasarkan data resmi yang dikeluarkan pemerintah, dan dari penelitian-penelitian akademik menunjukkan bahwa angka kemiskinan di Indonesia masih sangat tinggi. Data BPS bulan Maret tahun 2007 menunjukkan angka 37.168.300 orang berada di bawah garis kemiskinan. Jumlah ini sebagian besar bertempat tinggal di perdesaan (20,37%), tetapi ada pula kemiskinan di perkotaan (12,52%). Para ekonom banyak menyoroti permasalahan ini, terutama terhadap kebijakan pembangunan bidang ekonomi yang diambil pemerintah. Ada yang pro, pun tidak sedikit yang mengkritik. Sistem distribusi pendapatan nasional yang tidak pro poor menjadi isu bagi mereka yang mengkritik kebijakan pemerintah dengan keyakinan bahwa sistem distribusi pendapatan sangat menentukan bagaimana pendapatan nasional yang tinggi mampu menciptakan perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan dalam kehidupan bernegara, seperti mengurangi kemiskinan, pengangguran dankesulitan-kesulitan lain dalam masyarakat.
Distribusi pendapatan nasional yang tidak merata, tidak akan menciptakan kemakmuran bagi masyarakat secara umum. Sistem distribusi yang tidak pro poor hanya akan menciptakan kemakmuran bagi golongan tertentu saja, sehingga ini menjadi isu sangat penting dalam menyikapi tingginya angka kemiskinan hingga saat ini.
I. Kinerja Perekonomian Indonesia
Sistem demokrasi yang dianut Indonesia setelah merdeka, adalah Demokrasi Terpimpin, yaitu era dimana “politik menjadi panglima”. Presiden Soekarno memfokuskan pembangunan pada upaya peningkatan “persatuan dan kesatuan bangsa”. Fokus ini membuat perekonomian di Indonesia tidak tertata dengan rapi (miss management). Sebagai akibatnya perekonomian menjadi semakin hancur. Disebabkan oleh Politik Isolasi Nasional dan menumpuknya defisit APBN dari tahun ke tahun sejak tahun 50-an hingga penggalan pertama tahun 1960-an, maka di tahun 1965-66 terjadi suatu krisis ekonomi nasional yang sangat merisaukan, dan puncaknya Presiden Soekarno harus turun dari pucuk pimpinan Indonesia. Keadaan ini telah menumbangkan Orde Lama (Demokrasi Terpimpin) dan terbentuknya Orde Baru.
Di era pemerintahan Presiden Soeharto, Indonesia memfokuskan diri pada pembangunan di “bidang perekonomian”. Ini ditandai dengan adanya grand planning pembangunan yaitu Repelita yang dimulai tahun 1969. Pada masa ini pembangunan perekonomian fokus pada upaya meningkatkan investasi luar negeri dan perdagangan. Perkembangan perekonomian Indonesia secara keseluruhan terlihat mengesankan. Secara umum, indikator makroekonomi menunjukkan perkembangan angka dan kondisi mutakhir yang sangat baik. Tidak ada pertanda yang membuat khawatir banyak pihak, terutama bagi pemerintah dan otoritas moneter. Indikator makroekonomi yang dimaksud adalah: pertumbuhan ekonomi, angka inflasi, nilai tukar rupiah, cadangan devisa dan neraca pembayaran. Data BPS menunjukkan bahwa pada tahun 1980-an sampai tahun 1990-an perekonomian Indonesia mengalami kenaikan pesat. Kenaikan ini sebagian besar ditopang dari kontribusi eksploitasi sumber daya alam. Antara tahun 1985 – 1995 GDP Indonesia tumbuh 95% sementara inflasi dapat ditekan dibawah 10%. Pertumbuhan ekonomi ini, menurut Anwar A. (1996) dalam Munandar et al (2007), disebabkan karena meningkatnya konsumsi masyarakat serta kegiatan investasi baik PMDN maupun PMA serta beberapa sektor kegiatan perekonomian lainnya sejak tahun 1994 sampai dengan awal tahun 1997.
Namun di sisi lain menurut Kwik Kian Gie (2009), pertumbuhan yang tinggi ini ternyata dibarengi oleh ketimpangan yang sangat besar antara Indonesia Bagian Barat dan Indonesia Bagian Timur, antara perusahaan besar dan perusahaan kecil, antara perkotaan dan perdesaan, antara kelompok etnis yang satu dengan kelompok etnis lainnya. Pembangunan ekonomi dibarengi dengan tumbuh kembangnya KKN, dengan utang pemerintah yang meningkat terus sampai pemerintah tidak mempunyai kekuatan dana untuk melakukan tugas pokok dan fungsinya dalam bidang pendidikan, kesehatan, perumahan, infrastruktur, pertahanan/keamanan dan sebagainya. Pembangunan ekonomi selama Orde Baru juga tidak mampu menghapus adanya ekonomi dualistik yang membuat tidak adanya hubungan sama sekali antara ekonomi perkotaan dan perdesaan. Masing-masing bekerja sendiri-sendiri dimana ekonomi perdesaan dan rakyat kecil tidak pernah disentuh oleh kebijakan maupun bantuan pemerintah dalam memakmurkan mereka. Sebuah pemikiran bijak dikemukakan oleh Frans Seda (2002), bahwa antara ekonomi rakyat/ekonomi tradisional dan ekonomi modern tidak perlu diadakan dikhotomi. “Dual economy” nya Prof. Boeke, adalah suatu kenyataan dan merupakan dua kekuatan ekonomi yang perlu diintegrasikan menjadi sokoguru dari bangunan ekonomi nasional yang modern.
Pada pertengahan tahun 1997 dimana negara-negara di Asia terserang krisis, Indonesia juga mengalami dampaknya. Bahkan diantara Negara-negara di Asia yang paling parah terkena dampak krisis adalah Indonesia. Ini dibuktikan tidak hanya krisis ekonomi yang menimpa Indonesia, tetapi juga berimbas pada masalah lain seperti sosial dan politik. Sehingga dikatakan bahwa Indonesia saat itu mengalami krisis multidimensional. Masalah sosial ditandai dengan timbulnya gerakan anti China dan juga konflik antar suku dan agama, sementara krisis politik ditandai dengan munculnya gerakan reformasi dan mundurnya Soeharto dari pucuk pimpinan Indonesia. Sebagai akibat dari krisis tersebut, pada tahun 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia merosot menjadi –13,7% dari pertumbuhan sebesar +4,9% di tahun sebelumnya (1997), atau jatuh dengan 18,6% dalam setahun (Seda, 2002). Banyak pengamat menilai bahwa terjadinya dampak krisis yang begitu besar disebabkan karena rapuhnya fundamental perekonomian Indonesia. Sistem ekonomi yang berlaku sekarang ini nyata-nyata telah mendorong perilaku konsumtif masyarakat dan telah menyeret begitu jauh perekonomian nasional untuk tumbuh secara instant. Hanya negara-negara kaya dengan perangkat kelembagaan ekonomi politik yang mantaplah yang bisa mengeliminasikan dampak-dampak negatif dari gelombang pergerakan finansial global ini (Nugroho, 2002).
Pemerintahan pasca Soeharto, terutama era Habibie (yang seterusnya dinamakan era reformasi), menjalankan program stabilisasi makroekonomi melalui kebijakan moneter dan fiskal. Program awal difokuskan untuk mengatasi permasalahan yang sangat mendesak pada saat krisis, yaitu: meredam tekanan laju inflasi dan gejolak nilai tukar.
Pemerintah berupaya agar keadaan moneter menjadi stabil dengan pertanda suku bunga yang normal dan nilai tukar rupiah yang realistis, sehingga dapat membantu kebangkitan kembali dunia usaha. Secara bersamaan, pemerintah melakukan berbagai langkah konsolidasi di bidang fiskal melalui peningkatan disiplin anggaran dengan melakukan penghematan atas berbagai pengeluaran pemerintah. Pemerintah juga terpaksa melakukan penjadwalan dan penyesuaian terhadap beberapa proyek pembangunan. Dalam keseluruhan langkah tersebut, upaya restrukturisasi dan penyehatan perbankan menjadi prioritas yang sangat penting. Pengeluaran biaya yang amat besar untuk itu juga dianggap wajar. Perbankan dan „non-ekonomi-rakyat‟ yang notabene menjadi penyebab krisis berusaha „diselamatkan‟ dengan menggunakan dana trilyunan rupiah dari sumberdaya negara yang telah sangat terbatas (Krisnamurthi, 2002). Pertimbangan utamanya, stabilitas moneter menjadi prasyarat bagi pemulihan ekonomi, dan itu memerlukan stabilitas sistem keuangan. Stabilitas sistem keuangan mensyaratkan pembenahan sektor perbankan, termasuk BI sebagai Bank Sentral.
Kegiatan perekonomian yang diharapkan akan bergairah dengan munculnya rezim pernerintahan baru ternyata tidak terbukti, keadaan perekonomian yang rnemburuk pada saat bersamaan dengan negara-negara lain seperti, Malaysia, Thailand, Korea, Brazil, dan lain-lain tidak dapat ditingkatkan, di lain pihak perekonomian dunia, bahkan negara-negara tetangga seperti yang disebutkan di atas telah mampu keluar dari kemelut krisis moneter namun di pihak Indonesia hal tersebut tidak semakin membaik namun para elit dan kelompok partai-partai politik terus saja berpacu dan bergelut dengan perebutan kekuasaan sehingga lupa pada apa yang berhubungan dengan kondisi perekonomian masyarakat yang semakin menimbulkan gejolak sosial, pengangguran semakin bertambah, tingkat kemiskinan semakin besar, keluarnya investor-investor asing, pencucian uang, tingkat korupsi semakin merajalela mulai dari tingkat desa sampai ke pemerintah pusat tidak terkecuali para anggota legislatif yang dikenal dengan money politiknya semakin tidak dapat dibendung sehingga menempatkan Indonesia sebagai negara paling korup nomor 3 (tiga) di dunia dan nomor 1 (satu) di Asia.
Dampak krisis ini telah menernpatkan Indonesia sebagai negara yang mengalami penurunan dalam GNP maupun pertumbuhan ekonomi paling parah di dunia. Krisis moneter telah membuyarkan "buaian" Indonesia dengan GNP dan pertumbuhan ekonomi serta pendapatan per kapita yang rnengagumkan dan cukup "fantatis" untuk ukuran sebuah negara sedang berkembang telah hilang, kondisi perekonomian Indonesia menjadi terpuruk yakni mengalami kemunduran hingga mencapai minus 16,61 persen.
Merosotnya kondisi perekonomian ini dalam jangka waktu yang sangat pendek menunjukkan indikasi bahwa sendi-sendi atau fondasi perekonomian Indonesia yang dibangun selama ini tidak memperlihatkan kekuatannya. Terbukti GNP Indonesia atas dasar harga konstan tahun 1993 mengalami penurunan pada tahun 1998 sekitar 374.718,8 milyar dari sekitar 434.095,5 milyar, dan penurunan nilai ini hampir terjadi di semua sektor kegiatan perekonomian. Dengan gambaran tersebut maka mau tidak mau harus diakui bersama bahwa sejak akhir tahun 1997 atau sejak awal tahun 1998 hingga saat ini badai krisis ekonomi yang melanda negara kita tercatat sebagai periode paling "suram" dan sangat "tragis" dalam sejarah perekonomian Indonesia. Resosudarmo, et al. (2006) mengatakan bahwa krisis ekonomi dan keresahan sosial adalah faktor-faktor yang berkontribusi pada perlambatan dalam tingkat pertumbuhan dari semua GDP per kapita provinsi. Secara umum, selama periode 1980 – 2000 terjadi pergeseran struktur perekonomian. Sektor pertanian turun dari 24% menjadi 17% dari total GDP. Keadaan industri masih terbilang stabil tapi manufaktur komponen terbesar dari industri mengalami pertumbuhan dari 13% hingga 26% dari GDP. Pada tahun 2000 GDP Indonesia berjumlah $153.3 trillion, dengan GDP per kapita sebesar $730, dengan kecenderungan yang meningkat hingga tahun 2006.
II. Disparitas Distribusi Pendapatan di Indonesia
Tingginya Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara belum tentu mencerminkan meratanya terhadap distribusi pendapatan. Kenyataan menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat tidak selalu merata, bahkan kecendrungan yang terjadi justru sebaliknya. Distribusi pendapatan yang tidak merata akan mengakibatkan terjadinya disparitas. Semakin besar perbedaan pembagian “kue” pembangunan, semakin besar pula disparitas distribusi pendapatan yang terjadi. Indonesia yang tergolong dalam negara yang sedang berkembang tidak terlepas dari permasalahan ini.
Kebijakan-kebijakan stabilisasi yang diambil oleh presiden Soeharto dan tim ekonominya dari tahun 1966 sampai tahun 1969 sangat sukses dalam upaya menurunkan inflasi ke level digit satu, dan memulihkan perekonomian menuju pertumbuhan ekonomi yang terus menerus. Namun dampaknya terhadap ketimpangan pendapatan menimbulkan banyak perdebatan. King dan Weldon (1977) dalam Booth (2000), membandingkan data pendapatan rumah tangga dan pengeluaran rumah tangga dari beberapa sumber untuk pulau jawa pada tahun 1963-1964 hingga tahun 1970. Mereka menemukan fakta terdapatnya ketidakmerataan pertumbuhan di daerah perkotaan (terutama Jakarta) walaupun di daerah pedesaan jauh lebih tidak mencolok. Pada tahun 1964 -1965, ketika inflasi dan dislocation ekonomi tinggi, menunjukan bahwa inflasi dan stagnasi ekonomi mempunyai pengaruh lebih kuat terhadap pekerja urban. terutama mereka yang mempunyai pendapatan tetap, seperti pegawai pemerintah. Di daerah pedesaan, the better-off farmers yang mempunyai surplus makanan untuk dijual meningkatkan pendapatan relative mereka para pekerja urban dan orang miskin pedesaan. Ini menjelaskan, bahwa pada pertengahan 1960 ketimpangan antara pedesaan dan perkotaan dalam hal pengeluaran konsumsi rendah. Penemuan yang mengejutkan, menunjukkan bahwa ketidakmerataan sebenarnya lebih rendah di perkotaan dari pada di daerah pedesaan (sundrum 1973). Tren ini berubah secara lambat ketika inflasi turun dan pertumbuhan ekonomi meningkat.
Pada tahun 1969 – 1970, Gini cooficient pengeluaran konsumsi per kapita di pedesaan Indonesia 0,34, yang mengindikasikan tingkat ketidakmerataan. Hal ini sedikit lebih rendah di daerah perkotaan, dimana berdasarkan survey tentang biaya hidup pada tahun 1968 – 1969 menunjukan bahwa Gini coefficient pendapatan rumah tangga sebesar 0.4 di Jakarta, Manado dan Yogyakarta, walaupun Gini cooficient di Bandung dan Surabaya, dan kebanyakan kota besar diluar jawa lebih rendah. Kesenjangan pengeluaran juga meningkat antara 1969-1970 hingga 1976, baik di perkotaan maupun pedesaan. Sebagaimana yang Asra (1989) dalam Booth (2000) tunjukkan, jika data pengeluaran pedesaan yang diambil pada 1976 dikoreksi berdasarkan perubahan harga yang berbeda oleh kelompok-kelompok desil, maka ketidakmerataan pengeluaran di pedesaan meningkat baik di pulau Jawa maupun di luar pulau Jawa. Di daerah perkotaan Jawa ketidakmetaraan dalam pengeluaran juga meningkat; Booth dan Sundrum (1981) memperkirakan bahwa pengeluaran di atas kelompok desil Jawa perkotaan meningkat 66% antara 1970 - 1976, dibandingkan dengan kenaikan kurang dari 20% di bawah kelompok desil. Rata-rata pengeluaran riil per kapita meningkat lebih cepat di Jakarta daripada di daerah perkotaan lainnya, dan lebih cepat di daerah perkotaan Jawa daripada di daerah perkotaan di luar pulau Jawa. Dampak dari trend ini adalah terdapatnya kesenjangan yang tajam antara perkotaan dan perdesaan, terutama di Jawa khususnya terhadap barang-barang non-makanan.
Beberapa trend ini kembali terjadi di tahun 1976 – 1981. Perhitungan Asra menyatakan bahwa antara tahun 1976 – 1981, laju inflasi secara umum sama untuk semua kelompok desil pengeluaran dalam distribusi, baik di Jawa dan di tempat lain. Di daerah pedesaan ada penurunan ketidakmerataan pengeluaran. Di pedesaan Jawa rata-rata pengeluaran riil per kapita meningkat dengan pesat, namun menurun di daerah pedesaan luar Jawa.
Evaluasi terhadap distribusi hasil pembangunan yang telah dilaksanakan selama lebih dari 64 tahun selalu menyisakan problema mendasar tentang disparitas yang tidak pernah terselesaikan, dan hingga sekarang alasan untuk ini belum ditemukan. Sebuah analisis data panel yang dilakukan oleh Resosudarmo, et al. (2006) menegaskan bahwa kesenjangan dalam pendapatan per kapita provinsi di Indonesia relatif parah. Hal ini didasarkan pada fenomena, bahwa meskipun pertumbuhan PDB provinsi bervariasi dari waktu ke waktu, ada beberapa provinsi yang selalu, atau hampir selalu, berada di antara lima provinsi terkaya dan yang lain di antara lima termiskin. Kalimantan Timur, Riau, dan Jakarta selalu di antara provinsi terkaya dan Aceh telah dianggap sebagai provinsi yang memiliki PDB per kapita yang tinggi sejak awal 1980-an, sedangkan NTT selalu berada di antara yang termiskin. Ada beberapa periode ketika tingkat pertumbuhan PDB per kapita di Jakarta, Riau, Kalimantan Timur dan Aceh termasuk yang paling rendah, sedangkan orang-orang NTT dan NTB dianggap antara yang tertinggi. Namun, sejak awal PDB per kapita Jakarta, Riau, Kalimantan Timur dan Aceh relatif sangat tinggi, sementara NTT dan NTB relatif sangat rendah dibandingkan dengan yang lain.
Alisjahbana (2005) dalam Noegroho dan Soelistianingsih (2007), mengatakan bahwa ketimpangan juga sering terjadi secara nyata antara daerah kabupaten/kota di dalam wilayah propinsi itu sendiri. Kesenjangan antar daerah terjadi sebagai konsekuensi dari pembangunan yang terkonsentrasi. Berbagai program yang dikembangkan untuk menjembatani kesenjangan baik ketimpangan distribusi pendapatan maupun kesenjangan wilayah belum banyak membawa hasil yang signifikan. Bahkan yang sering terjadi adalah kebijakan pembangunan yang dilakukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tetapi justru dapat menambah kesenjangan baik terhadap distribusi pendapatan maupun kesenjangan wilayah. Lebih lanjut Noegroho dan Soelistianingsih (2007) menemukan bahwa masalah ketimpangan distribusi pendapatan tidak hanya tampak pada wajah ketimpangan antara pulau Jawa dan luar Jawa saja melainkan juga antar wilayah di dalam pulau Jawa itu sendiri, sebagaimana yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah.
Secara lebih spesifik, Hariadi, et al, (2008) menganalisis distribusi pendapatan antar rumah tangga di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah. Diperoleh hasil bahwa kenaikan ketimpangan distribusi pendapatan antar rumah tangga terjadi karena semakin menurunnya pendapatan relatif dan pendapatan riil oleh 40% kelompok masyarakat berpendapatan terendah yang diakibatkan oleh: (1) dari sisi penawaran antara lain terbatasnya kepemilikan dan kesempatan memperoleh modal, keterbatasan kesempatan berusaha dan bekerja, posisi tawar yang lemah; (2) dari sisi permintaan antara lain karena kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan bagi usaha mereka dan permintaan yang rendah akibat inflasi dan kenaikan harga BBM sejak 2005 sehingga terjadi penurunan daya beli konsumen yang berakibat pada tidak meningkatnya pendapatan relatif bagi usaha kecil dan rumah tangga, sektor informal, petani, buruh dan pekerja/pegawai kecil. Kelompok masyarakat berpendapatan tinggi relatif tidak terpengaruh secara berarti dengan adanya inflasi dan kenaikan harga BBM serta kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan dibanding kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Lebih lanjut dikatakan, bahwa kesempatan kerja di sektor-sektor seperti industri besar, bangunan, perdagangan dan keuangan memang memberikan pendapatan dan nilai tambah yang tinggi namun ketersediaannya terbatas dan lebih banyak di perkotaan daripada di perdesaan yang didominasi oleh sektor primer, sehingga menimbulkan ketimpangan pendapatan terutama antara perkotaan dengan pedesaan.
III. Profil Kemiskinan di Indonesia
Booth (2000), dalam penelitiannya telah menginventarisir data kemiskinan di Indonesia secara empiris. Tahun 1976 – 1981 menunjukkan penurunan tingkat kemiskinan di daerah perkotaan dan pedesaan, dengan kecenderungan angka-angka di bawah garis kemiskinan turun lebih tajam di daerah pedesaan. Tahun 1981 diperkirakan terdapat 40.6 juta orang Indonesia di bawah garis kemiskinan, dimana 31,3 juta orang diantaranya berada di wilayah perdesaan, dan 9.3 juta sisanya ada di wilayah perkotaan.
Selama dekade 1975-1985, pendapatan per kapita buruh tani rumah tangga tumbuh sedikit lebih cepat dari pada rata-rata nasional, sementara orang-orang miskin petani (yang beroperasi kurang dari 0,5 hektar) tumbuh lebih lambat, sehingga pada tahun 1985 rumah tangga buruh tani berpenghasilan rata-rata sedikit lebih baik dari pada rumah tangga petani miskin.
Antara 1976-1981, yang merupakan tahun-tahun bonanza minyak, penurunan angka kemiskinan rata-rata per tahun menurut BPS adalah 5,6%. Setelah 1981, pendapatan Indonesia dari ekspor minyak mulai turun, dan pemerintah menghadapi serangkaian kebijakan yang di desain untuk peningkatan ekspor non minyak, melakukan verifikasi dasar pajak dalam negeri, menarik lebih banyak investasi asing, melakukan deregulasi sektor keuangan, dan meningkatkan efisiensi sektor perusahaan publik, dan kebijakan makro lainnya.
Tahun 1987-1996 (BPS), terjadi penurunan angka garis kemiskinan yang lebih lambat. Hal ini terutama terjadi di daerah pedesaan, sedangkan pada tahun 1976-1987 jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan di daerah pedesaan menurun hampir 7% per tahun, dan antara 1987 – 1996, tingkat penurunan angka kemiskinan tiap tahun melambat menjadi hanya sekitar 3% per tahun.
Tahun 1987-1996 (BPS), terjadi penurunan angka garis kemiskinan yang lebih lambat. Hal ini terutama terjadi di daerah pedesaan, sedangkan pada tahun 1976-1987 jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan di daerah pedesaan menurun hampir 7% per tahun, dan antara 1987 – 1996, tingkat penurunan angka kemiskinan tiap tahun melambat menjadi hanya sekitar 3% per tahun.
Antara tahun 1993 dan 1996, hasil Gini koefisien terhadap pengeluaran per kapita di daerah perkotaan Indonesia meningkat 0,33-0,36; di daerah pedesaan meningkat hanya sedikit, dan tetap jauh lebih rendah dari daerah perkotaan. Peningkatan kemiskinan relatif di daerah-daerah pedesaan juga jauh lebih rendah. Pada tahun 1996, jumlah penduduk di desa yang pengeluarannya di bawah setengah pengeluaran rata-rata, mencapai setengah dari jumlah penduduk di perkotaan. Ada juga bukti bahwa sejak pertengahan 1980-an mekanisme yang mempromosikan sebuah distribusi pendapatan yang egaliter di daerah pedesaan, mungkin berjalan kurang efektif di bandingkan pada dekade 1975-1985.
Pengalaman dari tahun 1987-1999 menunjukan bahwa elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi menurun di Indonesia. Dengan kata lain, pertumbuhan yang cepat pada tahun 1987-1999 disertai dengan peningkatan ketidakmerataan, terutama di daerah perkotaan, dan peningkatan ketidakmerataan ini mengurangi dampak pertumbuhan pada penurunan tingkat kemiskinan.
Pada tahun 1996, 43% dari penduduk miskin berada di luar Jawa dan Bali. Lebih dari 20% berada di Kalimantan, Sulawesi dan kepulauan bagian timur (NTT, NTB, Timor Timur dan Maluku). Tampaknya masih banyak yang meragukan teori yang mengatakan bahwa sektor pertanian yang relative terbelakang ditambah lagi dengan kepemilikan tanah yang sempit merupakan faktor utama yang menyebabkan tingginya angka kemiskinan di daerah pedesaan.
Pada tahun 1996, 43% dari penduduk miskin berada di luar Jawa dan Bali. Lebih dari 20% berada di Kalimantan, Sulawesi dan kepulauan bagian timur (NTT, NTB, Timor Timur dan Maluku). Tampaknya masih banyak yang meragukan teori yang mengatakan bahwa sektor pertanian yang relative terbelakang ditambah lagi dengan kepemilikan tanah yang sempit merupakan faktor utama yang menyebabkan tingginya angka kemiskinan di daerah pedesaan.
Tidak bisa disangkal bahwa pada masa pemerintahan soeharto Indonesia mengalami penurunan dalam angka kemiskinan absolute dan ada kenaikan dalam indikator-indikator kesejahreaan lainnya seperti tingkat kematian bayi dan angka melek huruf. Studi comparative menunjukkan bahwa akhir tahun 1980-an tingkat kemiskinan di Indonesia berada di bawah Filipina, meskipun jauh di atas Thailand dan Malaysia (Booth, 1997; Ahuja et al., 1997; Mizoguchi dan Yoshida, 1998; dalam Booth, 2000). Tetapi penurunan angka kemiskinan relatif melambat. Angka kemiskinan relatif yang meningkat begitu tajam di beberapa kota-kota terbesar di Indonesia antara tahun 1987 dan 1996 pada saat rata-rata pendapatan dan pengeluaran konsumen juga meningkat dengan cepat setidaknya merupakan sebagian penjelasan tentang adanya pertumbuhan sosial, ketegangan rasial dan agama yang menjadi lebih jelas bahkan sebelum dampak krisis keuangan menghantam Indonesia pada akhir tahun 1997.
Walaupun terjadi penurunan kemiskinan di Indonesia antara tahun 1976 – 1996, masalah kemiskinan relatif dan kekurangan masih serius pada tahun-tahun terakhir rezim Soeharto, bahkan sebelum dampak krisis keuangan dan penyusunan program berikutnya terhadap pendapatan nasional. Saat krisis moneter tahun 1997, peningkatan angka kemiskinan terbesar terjadi di perkotaan, dimana jumlah penduduk miskin di perkotaan dalam periode tersebut meningkat lebih dari 80%. Padahal, dalam periode yang sama, jumlahnya di perdesaan hanya naik sebesar 30%. Sebagai langkah antisipasi, pemerintah harus memberikan prioritas yang tinggi untuk program-program anti-kemiskinan.
Pada tahun 2002 – 2007, terdapat indikasi kuat bahwasanya meskipun terdapat kecenderungan positif dalam penanggulangan kemiskinan, tetapi ternyata implikasinya belum seperti yang diharapkan. Proporsi penduduk yang hamper miskin masih cukup tinggi, dan apabila terjadi sedikit 'gejolak', maka dengan sangat mudah mereka akan kembali menjadi miskin. Namun tidak dapat dipungkiri, kesenjangan dan disagregasi kemiskinan memang terjadi di Indonesia. Saat ini (tahun 2007) proporsinya mencapai 16.6%, tetapi ada anggapan bahwa dibalik angka ini sebetulnya terdapat fakta kesenjangan antar provinisi yang cukup besar (Kuncoro, 2008).
IV. Platform Kebijakan Pengentasan Kemiskinan ke Depan
Pertumbuhan versus distribusi pendapatan merupakan masalah yang menjadi perhatian di negara-negara sedang berkembang (Arsyad, 2004). Banyak negara sedang berkembang yang mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada tahun 1960-an mulai menyadari bahwa pertumbuhan yang tinggi hanya sedikit manfaatnya dalam memecahkan masalah kemiskinan. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dirasakan banyak orang tidak memberikan pemecahan masalah kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan ketika tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut diiringi dengan meningkatnya tingkat pengangguran dan pengangguran semu di daerah pedesaaan maupun perkotaan. Distribusi pendapatan antara kelompok kaya dengan kelompok miskin semakin senjang. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata telah gagal untuk menghilangkan atau bahkan mengurangi besarnya kemiskinan absolut di negara-negara sedang berkembang.
Keyakinan mengenai adanya efek menetes ke bawah (trickle down effects) dalam proses pembangunan telah menjadi pijakan bagi sejumlah pengambil kebijakan dalam pembangunan. Dengan keyakinan tersebut maka strategi pembangunan yang dilakukan akan lebih terfokus pada bagaimana mencapai suatu laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam suatu periode yang relatif singkat. Untuk mencapai tujuan tersebut, konsekuensi negatif yang dapat muncul sebagai akibat jalan pintas yang diambil berdasarkan pengalaman masa lalu adalah pusat pembangunan ekonomi nasional dan daerah selalu dimulai pada wilayah-wilayah yang telah memiliki infrastruktur lebih memadai, terutama Jawa. Selain itu pembangunan akan difokuskan pada sektor-sektor yang secara potensial memiliki kemampuan besar dalam menghasilkan nilai tambah yang tinggi terutama sektor industri dan jasa.
Kebijakan pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru memiliki kecenderungan yang mengarah pada penerapan Trickle Down Effects, namun dalam “persepsi yang keliru”. Pembangunan lebih difokuskan pada daerah-daerah perkotaan ketimbang di perdesaan dengan harapan dapat memberikan multiplayer effect bagi pembangunan berkelanjutan di bawahnya. Padahal pemahaman secara harfiah terhadap Trickle Down Effect bukan semata-mata pada “multiplayernya”, namun pada upaya “pemerataan kue pembangunan”. Kebijakan yang keliru ini diilustrasikan oleh Seda (2002), bahwa melalui pemberdayaan sektor swasta maka diharapkan/dianggap Ekonomi Rakyat akan pula dapat diberdayakan. Jika pembangunan selama ini adalah “top down” maka proses ini tidak langsung beralih ke sistim “bottom up”, namun melalui sistim (peng)antara “middle down” dan “middle up”. Namun kita tahu apa yang telah terjadi. Bukan proses “memberdayakan”, melainkan proses “memperdayakan”. “Up” dan “down” diperdayakan oleh si “middle”. Maka terjadilah krisis ekonomi yang berkelanjutan ini. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Sulekale (2003) yang mengatakan, bahwa penyebab kemiskinan di Indonesia bukanlah kurangnya sumber daya alam, melainkan karena faktor non-alamiah, yaitu kesalahan dalam kebijakan ekonomi. Khusus pada era Orde Baru, kelompok-kelompok usaha yang telah memiliki sistem manajemen modern dengan jaringan koneksi internasional yang sudah cukup baik dapat memanfaatkan situasi yang tercipta dengan lebih baik karena lebih siap secara teknis. Tugas yang diberikan kepada kelompok-kelompok usaha tersebut adalah memperbesar kue ekonomi yang kecil untuk kemudian dapat dilakukan pemerataan dalam pola trickle-down effect. Namun dalam perkembangannya, pertumbuhan untuk pemerataan tidak terjadi dengan mulus, bahkan kesenjangan sosial-ekonomi makin dirasakan melebar, dan akhirnya terjadi kerusuhan sosial yang memuncak pada tahun 1998.
Analisis yang didasarkan pada data kemiskinan tahun 1993 yang diterbitkan oleh BPS, dan hasil Sensus Pertanian tahun 1993, menunjukkan bahwa produktivitas pertanian per hektar dan ukuran kepemilikan lahan masih merupakan faktor yang menentukan timbulnya kemiskinan di pedesaan. Dari temuan ini dapat disimpulkan bahwa pembangunan harus lebih ditekankan pada sektor perdesaan dan pertanian jika angka kemiskinan ingin dikurangi di Indonesia. Bagaimanapun, program-program pembangunan di perdesaan seharusnya tidak difokuskan pada bahan pangan saja seperti program-program tahun-tahun sebelumnya, tetapi harus ditargetkan untuk memenuhi kebutuhan khusus masyarakat miskin di daerah-daerah miskin. Program-program pembangunan perdesaan yang lebih efektif juga akan membantu dalam membatasi tingkat kemiskinan di perkotaan.
Menurut Human Development Report 1995, yang dikeluarkan oleh UNDP, sebesar 1,3 miliar penduduk di negara berkembang hidup dalam kemiskinan, dan hampir 800 juta di antaranya tidak menderita kurang pangan. Banyak pihak menganggap bahwa Bank Dunia secara langsung telah menjadi penyebab utama meningkatnya kesenjangan dan ketimpangan sosial di suatu negara dan antar negara, atau dapat dikatakan bahwa Bank Dunia telah gagal melakukan usaha-usaha pengentasan kemiskinan melalui program dan kebijakan pemberian bantuan. Banyak prakarsa Bank Dunia mengenai kemiskinan baru-baru ini mengarah kepada gejala kemiskinan ketimbang mengarah kepada akar strukturalnya. Jika dikaitkan dengan upaya meningkatkan PDB/PNB per kapita (Gie, 2009), ternyata angka ini tidak juga bisa menjelaskan apa-apa tentang keadilan dalam pembagiannya. Karena itu pemerintah harus mengembangkan indikator baru yang memperlihatkan keadilan dalam pembagian PDB/PNB pada seluruh kelompok masyarakat.
Upaya untuk menurunkan disparitas distribusi pendapatan selalu menunjukkan tren perlambatan. Garcia dan Soelistianingsih (1998) yang mendapatkan fakta bahwa antara 1975-1993 tendensi penurunan disparitas sempat terhenti pada 1983. Wibisono (2003) menemukan bahwa penurunan disparitas yang cepat terjadi pada pertengahan 1970-an hingga 1980-an. Setelah itu penurunan disparitas mengalami perlambatan pada pertengahan 1980-an hingga 1990-an. Hal yang sedikit berbeda dikemukakan oleh Akita dan Lukman (1995) menemukan bahwa disparitas PDRB per kapita mengalami penurunan yang kontinu antara 1975-1992. Studi empirik disparitas pendapatan regional yang diukur dengan indeks Gini menunjukkan pengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi regional (Puspita, 2006).
Upaya untuk menurunkan disparitas distribusi pendapatan selalu menunjukkan tren perlambatan. Garcia dan Soelistianingsih (1998) yang mendapatkan fakta bahwa antara 1975-1993 tendensi penurunan disparitas sempat terhenti pada 1983. Wibisono (2003) menemukan bahwa penurunan disparitas yang cepat terjadi pada pertengahan 1970-an hingga 1980-an. Setelah itu penurunan disparitas mengalami perlambatan pada pertengahan 1980-an hingga 1990-an. Hal yang sedikit berbeda dikemukakan oleh Akita dan Lukman (1995) menemukan bahwa disparitas PDRB per kapita mengalami penurunan yang kontinu antara 1975-1992. Studi empirik disparitas pendapatan regional yang diukur dengan indeks Gini menunjukkan pengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi regional (Puspita, 2006).
Masalah kemiskinan bukanlah sekedar masalah yang dapat dipecahkan oleh para ekonom, tetapi harus dipecahkan secara multidisipliner/interdisipliner oleh para ahli, karena bersifat multi-dimensional, dan dimensi-dimensi kemiskinan tersebut saling mengkait antara satu dengan yang lain (Arsyad, 1992). Lebih lanjut dikatakan, bahwa pemecahan masalah kemiskinan seperti halnya masalah distribusi pendapatan, tidak dapat dilakukan melalui sistem mekanisme pasar. Oleh karena itu peranan pemerintah dituntut lebih banyak. Selain itu dukungan organisasi-organisasi sosial seperti LSM-LSM sangat dibutuhkan. Dengan kata lain masalah ini harus menjadi concern kita bersama, kalau memang tujuan akhir pembangunan kita adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tidak hanya faktor-faktor ekonomi yang diperhatikan, tetapi faktor-faktor non ekonomipun tidak boleh luput dari perhatian (Mubiarto, 2002), karena kenyataannya faktor-faktor non-ekonomi telah memberikan sumbangan besar bagi keberhasilan program ekonomi. Inilah ekonomi kelembagaan (institutional economics) ajaran ekonomi John R. Commons yang lebih menekankan kerjasama (cooperation) dan tindakan bersama (collective action) dalam pemecahan masalah pertarungan kepentingan-kepentingan ekonomi (conflict of interest) ketimbang persaingan (competition). Suatu masyarakat kecil seperti masyarakat Yogyakarta yang ”budaya”nya relatif tinggi termasuk budaya gotong-royongnya, dapat menciptakan suasana mendukung (conducive) bagi program-program pembangunan masyarakat terutama program-program penanggulangan kemiskinan.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Daerah, peran Pemerintah Daerah dalam membangun daerah menjadi titik sentral dan menjadi sangat besar, karena daerah telah diberikan kewenangan untuk mengatur otonominya sendiri agar mampu mandiri. Ini merupakan perubahan besar dalam sejarah tata pemerintahan. Kunci utama dari upaya penanggulangan kemiskinan di daerah adalah terbangunnya, serta melembaganya jaringan komunikasi, koordinasi dan kerjasama dari tiga pilar yang ada di daerah: Pemda, Masyarakat dan kelompok peduli (LSM, swasta, perguruan tinggi, ulama/tokoh masyarakat, dan pers). Permasalahan kemiskinan hanya dapat ditanggulangi jika tiga komponen di atas saling bekerjasama dalam semangat kebersamaan, dan berpartisipasi mencari alternatif pemecahan masalah.
Upaya penanggulangan kemiskinan yang paling strategis dalam era otonomi daerah dapat dirumuskan dalam satu kalimat yaitu “berikan peluang kepada keluarga miskin dan komunitasnya untuk mengatasi masalah mereka secara mandiri” (Sulekale, 2003). Ini berarti pihak luar harus mereposisi peran mereka, dari agen pemberdayaan menjadi fasilitator pemberdayaan. Input yang berasal dari luar yang masuk dalam proses pemberdayaan harus mengacu sepenuhnya pada kebutuhan dan desain aksi yang dibuat oleh keluarga miskin itu sendiri bersama komunitasnya melalui proses dialog yang produktif agar sesuai dengan konteks setempat. Upaya-upaya menyeragamkan penanggulangan kemiskinan menurut model tertentu hanya akan menemukan kemungkinan yang lebih besar untuk gagal dalam mencapai sasarannya. Hal-hal yang perlu ditinggalkan oleh para pembuat kebijakan adalah melakukan kontrol yang mematikan inisiatif maupun partisipasi penduduk miskin.
Kebijakan-kebijakan yang mengarah pada kestabilan makro ekonomi perlu dikaji secermat mungkin agar fundamental perekonomian tidak mudah goyah terhadap berbagai goncangan. Munandar et al, (2007), menemukan bahwa kebijakan moneter yang berhati-hati (prudent), yaitu kebijakan moneter yang diarahkan pada tercapainya inflasi yang rendah dan kondisi ekonomi makro yang stabil secara berkesinambungan, merupakan kebijakan yang secara relatif lebih menguntungkan provinsi-provinsi kurang maju. Selanjutnya karena tingkat kemiskinan yang tinggi cenderung ditemukan di berbagai wilayah yang kurang maju tersebut, kebijakan moneter yang prudent tampaknya merupakan kebijakan moneter yang berpihak pada golongan miskin (pro poor).
Pengalaman telah membuktikan bahwa akibat kebijakan makro ekonomi Indonesia yang salah sebelum terjadinya krisis telah membawa dampak sangat buruk bagi perekonomian bangsa. Bukan kebetulan jika Indonesia setuju dengan kebijakan-kebijakan yang begitu membebani rakyatnya. Utang menggunung yang didatangkan untuk menimbun kekayaan elit negara membuat pemerintah tidak ada pilihan lagi. Utang luar negeri Indonesia terus menduduki tingkat tertinggi di antara negara Asia lainnya. Sudah jelas “kami” membebani utang yang begitu mencengangkan hingga negara ini tidak mampu melunasi. Maka Indonesia dipaksa menebus utang dengan memuaskan hasrat korporasi “kami”. Dengan begitu tujuan “kami” para “bandit ekonomi” tercapai (Perkins, 2009).
Adalah kepentingan para elit ekonomi, termasuk penerima BLBI untuk mengesankan bahwa krisis ekonomi masih terus berjalan, dan makin parah, agar pemerintah tetap tidak dapat bersikap keras pada mereka untuk membayar utang-utang besar yang macet sejak awal krismon. Utang-utang besar yang macet menjadi amat berat karena banyak utang dalam bentuk valuta asing yang tidak dijamin sehingga jika ekonomi Indonesia sudah dianggap pulih dari kondisi krisis, mereka para pengutang akan kehilangan alasan untuk tidak membayarnya. Inilah alasan “tersembunyi” untuk terus memojokkan pemerintah yang sayangnya memperoleh dukungan pakar-pakar ekonomi makro yang tidak pernah meninggalkan meja komputernya dan tidak pernah mau menerapkan metode analisis induktif-empirik dengan cara datang ke daerah-daerah meneliti kehidupan ekonomi riil (real-life economics). Mereka membesar-besarkan dampak krisis dengan menyebutkan pengangguran yang mencapai 40 juta orang, pelarian modal asing US$ 10 milyar per tahun dan lain-lain (Mubiarto, 2002).
Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kependudukan UGM bekerjasama dengan RAND Corporation Santa Monica dengan melakukan Survei Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (SAKERTI) di 13 propinsi, menunjukkan bahwa krisis moneter 1997 tidak berdampak buruk terhadap perekonomian masyarakat perdesaan. Kenyataan ini telah menenggelamkan pendapat yang lebih condong ke “dampak yang parah” dengan harapan supaya tidak menghambat peluncuran program-program JPS (Jaring Pengaman Sosial), lebih-lebih yang dananya berasal dari bantuan luar negeri. Program-program JPS adalah program untuk menolong penduduk miskin yang sedang dalam kesusahan, sehingga tidaklah dianggap bijaksana menyebarluaskan penemuan kajian-kajian yang menyimpulkan dampak krismon tidak parah. Peneliti-peneliti Indonesia yang jujur, terpaksa mengendalikan diri melaporkan kenyataan dari lapangan “demi kemanusiaan”. Namun kemudian mereka merasa terpukul membaca komentar penerima hadiah Nobel di bidang ekonomi tahun 1998, Amartya Sen yang menyindir mereka yang telah membesar-besarkan dampak krisis moneter di Asia Timur.
Pemberdayaan ekonomi rakyat menjadi suatu upaya yang mutlak harus dilakukan. Kemampuan “tahan banting” terhadap krisis telah terbukti. Mengingat relatif sulitnya mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi yang diharapkan dari investasi usaha-usaha besar maka pemerintah daerah diharapkan untuk lebih memberdayakan ekonomi rakyat yang merupakan potensi yang tersembunyi (hidden potential) termasuk di dalamnya UKM dan sektor informal untuk mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan. Sektor ekonomi rakyat telah terbukti mampu bertahan di saat krisis, oleh karena itu pemerintah jangan menganggap remeh akan keberadaan sektor ekonomi rakyat, tapi justru harus diberdayakan sebagai salah satu penyangga perekonomian nasional Hariadi et al, (2007). Diharapkan sekali kearifan pemerintah agar lebih memperhatikan dan lebih rajin turun melihat kehidupan masyarakat di pedesaan (Sinseng, 2002). Jika memang belum dapat dilakukan kebijakan yang mendukung ekonomi rakyat, atau juga masih kesulitan untuk membuat kebijakan yang netral terhadap ekonomi rakyat, minimal jangan buat kebijakan yang merugikan ekonomi rakyat, atau jangan buat kebijakan apapun, biarkan ekonomi rakyat berkembang dengan kemampuannya sendiri. Yakinlah, rakyat Indonesia mampu melakukan hal itu (Krisnamurthi, 2002).(b-prakoso/27210001)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar